Kamis, 10 Desember 2009

Wajah Yesus Kristus Dalam Perspektif Jawa

ORANG Jawa, sejak zaman kuna telah mengenal tokoh pewayangan Semar. Empu Panuluh dalam karyanya kitab Gatutkaca Sraya yang ditulis tahun 1188 Masehi, menyebut tokoh punakawan Semar dengan nama ”Jurudyah Prasanta Punta.”

Nama itu dalam perkembangannya bermetafora menjadi ”Jodeh Santa”, kemudian berubah menjadi Lurah Den Mas ”Prasanta” dan di dalam cerita panji dikenal dengan nama Semar.

Sosok Semar yang dikisahkan memiliki banyak nama, dalam wayang golek mendapat julukan ”Sanghyang Wiraga Jati.” Ia seorang dewa dengan nama asli Sanghyang Ismoyo yang menjelma menjadi manusia dan berperan sebagai punakawan Pandawa.

Sepenggal penjelasan pemerhati pewayangan Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Apa dan Siapa Semar? itu, dapat membawa kita untuk memahami secara sekilas bagaimana orang (Kristen) Jawa menghayati Natal. Penghayatan yang barangkali khas Jawa. Sebab, masyarakat Jawa yang pada mulanya akrab dengan tradisi wayang, dapat dengan mudah menerima agama sebagai tradisi baru dalam kehidupan spiritualnya.

Kalau Empu Panuluh memberi nama tokoh Semar dengan ”Santa”, sebenarnya tidak ada hubungannya dengan sebutan Santa dalam tradisi kristiani yang berarti orang suci. Semar alias Jodeh Santa adalah punakawan yang merupakan tokoh rekaan. Kendati Semar dikisahkan sebagai jelmaan Dewa Ismoyo, dia digambarkan dalam wujud aneh dan lucu dengan kedudukan hina hanya sebagai hamba para Pandawa.

Pemahaman orang Jawa tentang kehambaan dewa dalam pribadi Semar itulah, yang agaknya ikut memberi andil bagi terbangunnya iman Kristen di kalangan masyarakat Jawa. Karena Yesus Kristus yang dalam trinitas diimani sebagai Tuhan yang ”turun” ke dunia, dapat dengan mudah dipahami orang Jawa seperti tatkala memahami Semar sebagai jelmaan dewa.

Berbeda dengan Semar yang tidak disebutkan kapan dan bagaimana saat lahir ke dunia, masyarakat Kristen (Jawa) melalui berbagai sumber, seperti Alkitab, pelajaran katekisasi, khotbah-khotbah dan sebagainya, meyakini tanggal 25 Desember adalah hari Natal, hari kelahiran Yesus Kristus. Walaupun napas kejawen masih hidup di antara orang-orang Kristen (Jawa), kemasan perayaan Natal pada umumnya tetap ala Barat yang menggunakan hiasan ”pohon terang” maupun tata ibadah ritualnya.

Orang Jawa yang masih lekat dengan tradisi, memiliki kesan unik terhadap Semar yang digambarkan aneh dan lucu, bertubuh tambun, berwajah putih pucat, serta rambut berjambul. Semar yang dianggap sebagai teman dan bapa para Pandawa, adalah sosok anutan yang bijaksana. Ia juga dikenal sangat cerdik dan pandai mencari jalan keluar di saat dalam kesulitan. Ia sering memberi peringatan sewaktu dalam bahaya dan mampu memberi ketenangan di saat para Pandawa mengalami keguncangan.

* *

KESAN mendalam terhadap sifat-sifat baik seperti pada diri Ki Lurah Semar itu pula, yang agaknya ikut mendasari mayoritas orang Kristen (Jawa) dalam mengenal sosok Yesus Kristus. Orang-orang Jawa dapat dengan mudah menerima Yesus Kristus yang mengajarkan cinta kasih, pengampunan, kepedulian terhadap sesama dan ajaran-ajaran kemanusiaan universal lainnya. Kendatipun, Yesus Kristus digambarkan dengan wajah bule dan berambut gondrong. Gambar yang telanjur melekat di benak masyarakat, karena sejak masuk ke nusantara melalui orang-orang Barat citra Yesus ditampilkan ”serba-Barat.”

Namun dalam perkembangannya belakangan ini, di kalangan Gereja Kristen Jawa (GKJ) muncul teologi baru yang menggambarkan ”Yesus tanpa wajah”. Simon Rachmadi, STh, misalnya, ketika ditahbiskan sebagai pendeta di GKJ Dagen-Palur, Karanganyar mengangkat teologi ”Yesus tanpa wajah” sekaligus memanfaatkan tokoh Semar sebagai simbol religiusnya.

Menurut dia, wajah Yesus Kristus dalam praksis kehidupan sehari-hari dan dalam konteks kekinian tidak harus seperti wajah Yesus Kristus yang diimpor dari Barat. Hal itu berarti, wajah Yesus Kristus di kalangan orang-orang Papua, umpamanya, bisa dicitrakan berambut keriting dan berkulit hitam. Demikian pula citra Yesus Kristus di mata orang Jawa bisa saja dikesankan sebagai berkulit sawo matang dan berpenutup kepala blangkon.

Melalui cara-cara semacam itu, pemaknaan Natal dan kekristenan yang universal menjadi semakin luas dan mendalam. Orang-orang Kristen (Jawa) dalam merayakan hari kelahiran Sang Juru Selamat tidak harus sama dengan orang-orang Barat, tetapi dapat memanfaatkan kearifan tradisi budaya lokal yang mampu memperkokoh iman.

Membiarkan ”wajah Yesus” dalam teologi ”Yesus tanpa wajah” terisi wajah-wajah etnis yang beraneka ragam, berarti menjadikan kekristenan lebih inklusif dan bukan Kristen eksklusif yang terasing dari masyarakat yang majemuk.

Apa pun latar belakangnya, masyarakat Jawa tradisional pemeluk agama Kristen memang seperti sulit melepas tradisi, adat dan budayanya. Perpaduan antara adat, tradisi, dan budaya dengan ritual agama yang sedemikian harmonis — seperti tradisi ”selamatan” yang dikemas dalam bentuk bidston atau persekutuan doa, perayaan Natal dengan variasi yang bernapaskan tradisi dan lain-lain — menjadi semacam petunjuk betapa tinggi toleransi daya adaptasi orang-orang (Kristen) Jawa.

Aktualisasi tradisi dan budaya Jawa yang merebak belakangan ini, terbukti ikut memperkaya corak kekristenan orang Jawa, termasuk dalam merayakan Natal. Sehingga dari waktu ke waktu bisa jadi kian banyak pendeta memimpin kebaktian dengan pakaian tradisional Jawa, dengan kain batik, beskap, dan blangkon atau mengganti ”pohon natal” dengan nyiur dan mengganti roti perjamuan dengan nasi tumpeng. Hal itu sebagai bagian dari proses inkulturasi penghayatan kekristenan melalui tradisi budaya lokal yang ternyata sangat mengesankan (Tok Suwarto, Kontributor HU ”PR”, tinggal di Solo Jawa Tengah)***
Tags: artikel agama
SHARE TWEET
Terimakasih sudah membaca artikel maling dari maling88 Wajah Yesus Kristus Dalam Perspektif Jawa dengan URL https://maling88.blogspot.com/2009/12/blog-post.html. Sempatkan juga untuk membaca artikel-artikel maling88 menarik lainnya.

0 komentar:

Tulis komentar anda untuk artikel Wajah Yesus Kristus Dalam Perspektif Jawa di atas!